Senin, 19 April 2010

PERJANJIAN UMAR

http://www.fordham.edu/halsall/source/pact-umar.html

After the rapid expansion of the Muslim dominion in the 7th century, Muslims leaders were required to work out a way of dealing with Non-Muslims, who remained in the majority in many areas for centuries. The solution was to develop the notion of the “dhimma”, or “protected person”. The Dhimmi were required to pay an extra tax, but usually they were unmolested. This compares well with the treatment meted out to non-Christians in Christian Europe. The Pact of Umar is supposed to have been the peace accord offered by the Caliph Umar to the Christians of Syria, a “pact” which formed the patter of later interaction.

We heard from ‘Abd al-Rahman ibn Ghanam [died 78/697] as follows: When Umar ibn al-Khattab, may God be pleased with him, accorded a peace to the Christians of Syria, we wrote to him as follows:
In the name of God, the Merciful and Compassionate. This is a letter to the servant of God Umar [ibn al-Khattab], Commander of the Faithful, from the Christians of such-and-such a city. When you came against us, we asked you for safe-conduct (aman) for ourselves, our descendants, our property, and the people of our community, and we undertook the following obligations toward you:

We shall not build, in our cities or in their neighborhood, new monasteries, Churches, convents, or monks’ cells, nor shall we repair, by day or by night, such of them as fall in ruins or are situated in the quarters of the Muslims.

We shall keep our gates wide open for passersby and travelers. We shall give board and lodging to all Muslims who pass our way for three days.

We shall not give shelter in our churches or in our dwellings to any spy, nor bide him from the Muslims.

We shall not teach the Qur’an to our children.

We shall not manifest our religion publicly nor convert anyone to it. We shall not prevent any of our kin from entering Islam if they wish it.

We shall show respect toward the Muslims, and we shall rise from our seats when they wish to sit.

We shall not seek to resemble the Muslims by imitating any of their garments, the qalansuwa, the turban, footwear, or the parting of the hair. We shall not speak as they do, nor shall we adopt their kunyas.

We shall not mount on saddles, nor shall we gird swords nor bear any kind of arms nor carry them on our- persons.

We shall not engrave Arabic inscriptions on our seals.

We shall not sell fermented drinks.

We shall clip the fronts of our heads.

We shall always dress in the same way wherever we may be, and we shall bind the zunar round our waists

We shall not display our crosses or our books in the roads or markets of the Muslims.

We shall use only clappers in our churches very softly.

We shall not raise our voices when following our dead.

We shall not show lights on any of the roads of the Muslims or in their markets.

We shall not bury our dead near the Muslims.

We shall not take slaves who have beenallotted to Muslims.

We shall not build houses overtopping the houses of the Muslims.

(When I brought the letter to Umar, may God be pleased with him, he added, “We shall not strike a Muslim.”)
We accept these conditions for ourselves and for the people of our community, and in return we receive safe-conduct.

If we in any way violate these undertakings for which we ourselves stand surety, we forfeit our covenant [dhimma], and we become liable to the penalties for contumacy and sedition.

Umar ibn al-Khittab replied: Sign what they ask, but add two clauses and impose them in addition to those which they have undertaken. They are: “They shall not buy anyone made prisoner by the Muslims,” and “Whoever strikes a Muslim with deliberate intent shall forfeit the protection of this pact.”

from Al-Turtushi, Siraj al-Muluk, pp. 229-230.

TERJEMAHAN

Telah kami dengar dari ‘Abdul-Rahman Ibn Ghanam [wafat 78 H. 697 AD.] sebagai berikut: Ketika Umar Ibn Al-Khattab (radi Allah anho) menyetujui perdamaian dengan orang Kristen Syria, kami menuliskan untuk beliau hal berikut:

Demi nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Berikut sebuah surat untuk hamba Allah Umar [ibn al-Khattab], Amir ul Mukminin, dari kami, umat Kristen sebuah kota ini atau itu. Pada saat baginda mendatangi kami, kami memohon pada baginda untuk melindungi kami (aman), keluarga kami, kepunyaan kami, dan warga masyarakat kami, dan kami sudi menjalankan kewajiban2 berikut bagi diri baginda:

Kami berjanji tidak akan membangun, di kota2 kami ataupun sekitarnya, monastery baru, Gererja, biara, ataupun kediaman para rahib, juga tidak akan kami perbaiki (tempat ibadah kami), baik malam maupun siang,
kalaupun kesemuanya itu runtuh sampai jadi puing-puing atau yang terletak di wilayah kaum Muslim (tidak akan kami perbaiki).

Akan kami buka lebar2 pintu-pintu gerbang kami bagi para pelancong dan pengelana. Akan kami berikan penginapan dan layanan selama 3 hari bagi semua Muslim yang melewati tempat kami.

Kami tidak akan berikan perlindungan dalam gereja2 kami atau dalam tempat-tinggal kami bagi mata-mata, maupun menyembunyikan mereka dari para Muslim.

Kami tidak akan mengajarkan Qur’an kepada anak-anak kami.

Kami tidak akan beribadah secara terbuka, maupun membuat orang jadi masuk agama kami. (Tapi) Kami tidak akan melarang siapa pun dari anggota keluarga kami yang mau masuk Islam jika mereka menginginkannya.

Kami akan tunjukkan rasa hormat kepada para Muslim, dan kami akan berdiri bangkit dari kursi kami saat mereka ingin duduk.

Kami tidak akan mencoba menyerupai Muslim dlm cara berpakaian dng cara apapun : galansuwa, topi turban, sepatu.

Kami tidak akan mengadopsi istilah ‘kunya’ mereka (epithet, semacam “SAW, AS, pbuh, alaihi al-salat wa al-salam, dsb.)

Kami tidak akan naik sadel (berkuda), maupun membawa pedang atau senjata apapun, atau membawanya melalui orang-orang kami.

Kami tidak akan mencetak tulisan Arab pada segel-segel kami.

Kami tidak akan menjual minuman yang di-fermentasi.

Kami akan menggunting pendek rambut dahi kami.

Kami akan selalu berpakaian yang sama di mana pun kami berada, dan kami akan mengikat pinggang kami memakai ikat pinggang.

Kami tidak akan memperlihatkan salib kami atau buku/kitab kami di jalan-jalan atau di pasar para Muslim. Kami hanya akan menggunakan dentingan kecil saja dalam gereja-gereja kami. Kami tidak akan meninggikan suara kami dalam ibadah apa pun di dalam gereja kami agar tidak menyinggung perasaan kehormatan kaum Muslim.

Kami tidak akan melakukan ritual daun palm [pada Minggu Palm/parade di jalan] atau beribadah terbuka di muka umum perayaan Ba’ooth [doa Senin Paskah]

Kami tidak akan berisik pada saat kami memakamkan kerabat yang wafat.

Kami tidak akan menyalakan cahaya di jalanan para Muslim atau dalam pasar-pasar mereka.

Kami tidak akan memakamkan kerabat kami didekat makam Muslim.

Kami tidak akan mengambil budak yang dikhususkan bagi Muslim.

Kami tidak akan membangun rumah lebih tinggi dari rumah-rumah Muslim.

Ketika saya membawakan surat ini kepada Umar, beliau menambahkan, “Dan kami tidak akan memukul seorang Muslim. Kami menerima syarat-syarat ini bagi diri kami dan bagi warga masyarakat kami, dan sebagai imbalannya kami akan menerima perlindungan aman.

Jika sampai kami melanggar perjanjian ini yang telah kami pegang teguh, kami setuju agar kami kehilangan jaminan perjanjian kami [sbg dhimma], dan kami akan menanggung hukuman atas kejahatan pemberontakan dan pengkhianatan.

Umar Ibn Al-Khittab menjawab: Tandatanganilah apa yang mereka minta, namun tambahkan dua butir klausa dan paksakan pada mereka itu sebagai tambahan atas apa-apa yang telah mereka kerjakan. Yaitu: “Mereka tidak boleh membeli (menebus) siapapun yang dipenjarakan oleh Muslim”, dan “Barangsiapa yang memukul seorang Muslim dengan sengaja akan kehilangan perlindungan dari pakta ini.”

Al-Turtushi, Siraj al-Muluk, pp. 229-230.